Bahagia, Memang Apa?
Jika kekayaan bisa membuat orang bahagia, tentunya Adolf Merckle, mantan orang terkaya di Jerman tidak akan menabrakkan dirinya sendiri ke kereta api.
Jika ketenaran bisa membuat orang bahagia,
tentunya Michael Jackson, king of
pop USA, tidak akan meminum obat tidur hingga tidur selamanya.
Jika kekuasaan bisa membuat orang bahagia,
tentunya GetĂșlio Vargas, mantan
Presiden Brazil, tidak akan menembak jantungnya sendiri
Jika kecantikan bisa membuat orang bahagia,
tentunya Marilyn Monroe, superdiva
Amerika Serikat era ’60-an tidak akan meminum alkohol dan obat anti-depresi
hingga overdosis.
Jika kesehatan bisa membuat orang bahagia,
tentunya Thierry Costa, seorang
dokter tersohor asal Prancis, tidak akan mengakhiri hidupnya karena sebuah
acara televisi.
Ternyata,
bahagia atau tidaknya seseorang itu bukan ditentukan oleh seberapa kayanya,
tenarnya, atau cantiknya, kuasanya, sehatnya, atau sesukses apapun hidupnya.
Tapi yang
mampu membuat seseorang itu bahagia adalah dirinya sendiri. Mampukah ia
mensyukuri apa yang sudah ia miliki dalam segala hal?
Terkadang,
kita lebih mengeluh terhadap sepeda motor yang tidak kita punyai daripada
bersyukur atas anugerah 2 kaki sehat dan lincah yang kita miliki.
Dan
seringkali, kita memilih benci akan lauk makan yang tidak sesuai selera
daripada memperhatikan mereka yang bingung mau makan dari mana.
Juga tak
jarang, kita lebih jengkel terhadap siklus hidup yang membosankan daripada
mencintai secuil nikmat kesehatan yang Allah berikan..
“Maka nikmat Rabbmu yang manakah yang
kamu dustakan?” (Ar-Rahman:16)
Dunia memang
luas, tapi ketika sepotong kecil daun hinggap di mata, BLAM! Hitam tak berperi.
Dan begitulah hati ketika tertutup karat nafsu duniawi. Semua hitam pekat,
seolah bumi sudah kosong dari kebaikan walau sekerat. Hakikatnya? Justru hanya
karena secuil ‘karat’ yang melekat.
Jangan tutup
mata dengan daun kecil.
Jangan kunci
hati dengan kotoran kecil.
Syukurilah
nikmat-Nya, meski terlihat mungil.
Beruntunglah
kita! Karena bahagia itu bukan komoditi dagang yang bisa dibeli, atau melekat
di sebuah tempat yangbisa kita eksplorasi. Ya, kebahagiaan itu letaknya di
hati, dan kita tidak perlu membeli atau pergi mencari. Yang kita perlukan
hanyalah hati yang bersih, pikiran yang jernih, dan raga yang selalu bersyukur
untuk bisa menciptakan kebahagiaan itu kapan pun, dimana pun, dan siapa pun
kita.
Kalau yang
tidak ada selalu kita pikirkan, sedangkan yang Allah anugerahkan selalu kita
abaikan, maka kapan kebahagiaan itu bisa kita dapatkan? (RG)
0 komentar: